Tahun
2008 lalu Ummat Islam gempar dengan beredarnya film pendek berjudul Fitna yang
dibuat oleh anggota parlemen Belanda Greet Wielder. Film ini menuai badai
kecaman dan kritik keras dikarenakan isinya yang provokatif dan penuh dengan
tendensi kebencian terhadap Islam, Kini “jeda” empat tahun kemudian muncul lagi
film dengan judul Innocence of Muslim dengan muatan yang yang tak jauh berbeda.
Pertanyaan
kemudian muncul, kenapa film – film seperti ini muncul silih berganti tanpa
peduli akan efek berkelanjutan yang mungkin akan ditimbulkan darinya. Tentu ada
sejuta alasan dibalik kasus – kasus blasphemy seperti ini, entah itu motif
politik, kebencian, mencari sensasi, dan puluhan lainnya baik dari yang paling
logis sampai yang paling absurd. Penulis sendiri berpendapat bahwa kasus –
kasus yang sedemikian ini secara keseluruhan memiliki akar yang sama yaitu
tentang bagaiman pola pandang (worldview) Barat memandang konsep “sakral”.
Barat
yang sekarang menganut pola pandang (worldview) postmodernism telah begitu
terbiasa untuk melakukan hal – hal diluar “kewajaran” dikarenakan nilai dari
kewajaran itu sangat relative dalam pola pandang mereka, jika menurut anda
pergi belanja ke Walmart (swalayan retail dengan jaringan terbesar di USA)
dengan hanya memakai bikini adalah wajar, maka sekali kali orang lain tidak
boleh barang sedikitpun “menjudge” anda tidak wajar. Jargonnya memikat; Apa
yang menurut anda benar, belum tentu benar untuk orang lain.
Dalam
kasus blasphemy, sebelum film yang mencederai Ummat Islam seperti Fitna dan
Innocence of Muslim itu muncul, Yesus sebagai tokoh sentral dalam agama Kristen
sudah lebih dulu dijadikan olok – olok murahan yang sudah tidak terhitung lagi
banyaknya dan lewat media apa saja olok – olok tersebut “disalurkan”. Lucunya
mereka masih menggunakan Injil untuk mengangkat sumpah bagi kepala Negara
masing – masing.
Nah,
konsep pola pandang (worldview) postmo yang dekonstruktif inilah yang
sesungguhnya harus menjadi sasaran tembak utama Ummat Islam dalam melancarkan
“serangan – serangannya”, mengapa?, Karena walau duta USA untuk Libya tewas
(anggaplah) dikarenakan efek dari film Innocence of Muslim, ia tidaklah lebih
dari sekedar collateral damage belaka yang kepergiannya takkan di sesali
ataupun diratapi.
Innocence
of Muslim ini juga punya kejanggalan tersendiri, film ini menjadi hit karena
ramai dibicarakan pada saat perayaan peristiwa 9/11, padahal film ini
sendiri sudah ada jauh sebelum September. Penulis berpendapat bahwa munculnya
film ini tidak lebih dari upaya provokasi murahan yang mencoba untuk memancing
emosi Ummat yang kemudian akan dipakai untuk merugikan kita sendiri, dapat
dilihat dari berita tentang tewasnya dubes AS di Libya lebih menonjol beritanya
daripada berita tentang Innocence of Muslim yang menjadi dasar penyerangan
tersebut.
What
is the most resilient parasite? Bacteria? A virus? An intestinal worm? An idea.
Resilient... highly contagious. Once an idea has taken hold of the brain it's
almost impossible to eradicate. An idea that is fully formed - fully understood
- that sticks; right in there somewhere. -Cobb, Inception
Peradaban
Barat, bukanlah sebuah sosok, tapi sebuah wujud dari manifestasi ide, konsep
dan pola pandang, jika kita memerangi sebuah sosok yang memiliki ide, konsep,
ataupun pola pandang (worldview) yang kuat, tidak peduli berapa kali kita
bunuh, sosok penggantinya akan muncul dengan cepat bahkan berkembang menjadi
lebih banyak.
Dalam
perjuangan kita menghadapi peradaban barat face to face kita memiliki kelemahan
mendasar yaitu cenderung memilih aksi praktis daripada aksi berkesinambungan.
Ini dapat mudah terlihat dari emosi kita yang sangat cepat tersulut dikarenakan
hasrat “ingin praktis” atau “nafsu instan” untuk melihat hasil segera itu lebih
dominan, padahal tidak ada gerakan yang bangkit dan bertahan tanpa dibangun
oleh konsep berkesinambungan yang mana dapat diraih melalui tumbuh kembangnya
khazanah keilmuan. Wallahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar